Daisypath Friendship tickers

Daisypath Friendship tickers

Friday, October 1, 2010

Bidaah

Dari Jabir bin ‘Abdillah radiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam suatu khuthbahnya (yang ertinya): “Ammaa ba’d, Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam dan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat.” [HR. Muslim]


    Seperti halnya hadis tholabul ilmi. Itu adalah hadits umum yang memerlukan dalil-dalil penjelasan khusus. Jika terpaku pada hadits itu saja, maka semua ilmu itu fardhu ain untuk dituntut. Sanggupkah seorang manusia menuntut semua ilmu? Tidak . Apakah semua ilmu itu fardhu ain dituntut? Tidak . Kerana ada dalil-dalil lain yang menunjukkan bahwa ilmu sihir itu haram. Ilmu komputer itu tidak wajib. Ilmu nahwu sharaf itu tidak wajib ain, tetapi wajib kifayah. Ilmu hudud itu tidak wajib ain, tetapi wajib kifayah. Jika telah dipelajari oleh sebahagian kaum di suatu daerah, maka gugurlah kewajiban itu bagi sebagian lainnya di daerah tersebut.

    Begitu juga dengan hadits kullu bid’atin. Jika kita melihat pada zahir hadis, maka kita melihat bahwa semua yang baru, tanpa terkecuali, adalah bid’ah. Semua perkara baru, baik itu urusan agama mahupun urusan lainnya, tanpa terkecuali, adalah bid’ah.

    Kemudian, hadis kullu bid’atin dibatasi oleh hadis “Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”. Yaitu kullu di sini bukanlah semua, merangkumi urusan agama dan bukan-agama. Kullu di sini, menurut hadis tersebut bermakna semua urusan dalam agama. Jadi, semua perkara baru dalam agama adalah bid’ah. Namun hadis tersebut juga diperjelas lagi dengan dalil-dalil lain.
Menurut Syaikh Izzuddin bin Abdis Salam dalam Qowaaid al Hakam, bid’ah adalah suatu pekerjaan keagamaan yang tidak terdapat pada zaman Rasulullah SAW. Lalu bagaimana hukum dari bid’ah ini? Bagaimana hukum dari pekerjaan keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah ini?

    Menurut riwayat Abu Nu’im, Imam Syafi’i pernah berkata, ““Bid’ah itu dua macam, satu bid’ah terpuji dan yang lain bid’ah tercela. Bid’ah terpuji ialah (pekerjaan keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah) yang sesuai dengan sunnah, sedangkan bid’ah yang tercela ialah (pekerjaan keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah) yang tidak sesuai dengan sunnah atau menentang sunnah.” [Fathul Bari juz' 17 hlm. 10]

    Menurut riwayat Abu Nu’im pula, bahwa Imam Baihaqi menjelaskan bahwa Imam Syafi’i pernah berkata, “Pekerjaan yang baru itu ada pekerjaan yang menentang atau berlainan dengan Al-Qur`an, sunnah, atsar dan ijma, ini dinamakan bid’ah dholalah; dan ada pula pekerjaan keagamaan yang baru yang baik, yang tidak menentang salah satu yg disebutkan di atas, adalah bid’ah juga, tetapi tidak tercela.” [Fathul Bari juz' 17 hlm. 10]

    Menurut Imam Nawawi, Imam Syafi’i membagi bid’ah kepada dua macam itu berdasarkan hadis yang diriwayatkan Imam Muslim : “Barang siapa yang mengadakan dalam Islam suatu sunnah hasanah lalu diamalkan orang sunnahnya itu, maka diberikan kepadanya pahala sebagai pahala orang yang mengerjakan kemudian dengan tidak mengurangkan sedikit juga dari pahala orang yg mengerjakan kemudian itu. Dan barangsiapa yang mengadakan dalam Islam suatu sunnah sayyi’ah, lalu diamalkan orang sunnah sayyi’ah itu, diberikan dosa kepadanya seperti dosa orang yang mengerjakan kemudian dengan tidak dikurangi sedikitpun juga dari dosa orang yang mengerjakan kemudian itu.” [Syarah Nawawi juz' 14 hlm. 226]

    Hadis ini tidak membicarakan sunnah nabi. Hadis ini membicarakan kebiasaan baru, suatu kebiasaan baru yang belum pernah ada di zaman Rasul. Nabi membahagikan kebiasaan (sunnah) itu menjadi dua, sunnah hasanah dan sunnah sayyi’ah. Supaya tidak rancu dengan sunnah yang biasanya digunakan untuk sunnah nabi, maka pembahagiannya oleh Imam Syafi’i diistilahkan dengan Bid’ah Mahmudah dan Bid’ah Madzmumah. Kenapa dikatakan bid’ah? Karena sunnah/kebiasaan yang dimaksud adalah kebiasaan yang baru diadakan setelah Rasul wafat. Karena dia merupakan perkara baru, maka dikatakan bid’ah. Misalnya azan dua kali sebelum solat Jumaat yang dibiasakan oleh Sayyidina Utsman bin Affan. Penulisan dan pengkitaban hadis. Itu semua adalah perkara baru, namun tidak bertentangan dengan agama. Memang Nabi tidak mencontohkan azan dua kali sebelum solat Jumaat tetapi azan memang boleh dilakukan bila-bila saja, tidak hanya menandakan waktu soalat.

    Bahkan mengenai penulisan hadis adalah suatu perkara yang dilarang pada zaman Nabi. Namun sekarang, kita dapat lihat bahawa hadis-hadis itu ditulis dan dikitabkan. Namun ini adalah perkara baru yang baik. Adakah menulis hadis  ibadah? Sungguh, menulis hadis dapat membantu menjaga agama ini. Menulis hadis  membantu penyebaran ajaran agama ini. Penulisan hadis telah membantu orang yang payah menghafal sehingga mereka juga dapat mempelajari hadis. Maka ia adalah ibadah. Penulisan hadis memang dilarang pada zaman Nabi. Namun penulisan hadis selepas zaman baginda dan para sahabat yang telah wafat merupakan perbuatan yang diredai Allah kerana membantu menjaga agama ini.

    Fahamilah pemikiran Imam Syafi’i dalam hal ini. Beliau telah membahagi kan bid’ah atau sunnah baru itu kepada bid’ah mahmudah dan bid’ah madzmumah. Sedangkan Nabi telah membahaginya menjadi sunnah hasanah dan sunnah sayyi’ah. Dan ulama terkemudian menyebutnya bid’ah hasanah dan bid’ah dholalah. Karena sunnah sayyi’ah itu adalah bid’ah yang dimaksud oleh Nabi dalam sabdanya, “Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (saw) dan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat.” Jadi, sunnah yang jelek (sayyi’ah) adalah bid’ah dholalah.

Sumber:[LINK]

No comments:

Post a Comment